Tuesday, April 30, 2013

Kata-kata Bijak menginspirasi hidup anda





Sebenarnya Tuhan menurunkan Keajaiban dan mukjizat setiap waktu bagi kita yang mau berpikir dan berusaha, yaitu “Kesempatan”.

 


 Hidup bukanlah tentang meratapi dan menunggu hujan badai berlalu, tapi tentang bagaimana kita menikmati dan belajar menari dalam hujan.



Jangan buang waktumu hanya untuk menunggu sesuatu yang tidak pasti. Hidup ini butuh kepastian, bukan hanya angan pun harapan yang tak pasti.

 





Berhenti berusaha menjadi seseorang yang diinginkan oleh semua orang, jadilah seseorang yang dibutuhkan oleh semua orang.


Rasa iri hanya membuat pikiranmu tak tenang. 
Jangan melebih-lebihkan apa yang kamu capai hanya karena ingin disanjung.
 
Lakukanlah jika memang kamu bisa. Karena kamu akan menyesal ketika kamu tidak melakukan apa yang seharusnya kamu lakukan.


Bila anda tak pernah melakukan kesalahan, ada baiknya anda melihat lagi langkah anda. Jangan-jangan anda tak mengalah setapak pun. Kesalahan memang tak mengenakkan, namun seorang optimis lebih banyak belajar dari kesalahan daripada dari keberhasilan. Kesalahan menuntun anda untuk mempelajari kembali sesuatu yang terjadi. Bukan cuma itu, kesalahan memimpin anda untuk mengambil tindakan yang lebih baik.
Kesalahan adalah kawan baik yang mengatakan secara samar apa yang harus anda kerjakan. Lihatlah kesalahan apa adanya. Jauhkan prasangka, kesedihan dan ratapan bila kesalahan menimpa anda. Karena, dibalik kesalahan tersimpan kesempatan yang tersembunyi.
Colombus melakukan “kesalahan” yang besar dalam perjalanannya mencari jalur ke India, yaitu menemukan benua Amerika. Namun bertahun-tahun kemudian, jutaan orang mengikuti “kesalahan” tersebut untuk menuai kemakmuran hidup mereka. Masihkah anda menganggapnya sebagai kesalahan?

Kesenanagan terbesar dalam hidup ini adalah melakukan hal, dimana orang lain menganggap bahwa kita tidak mampu melakukan hal tersebut.
 

Jangan merusak apa yang kau miliki sekarang dengan mengejar sesuatu yang tidak mungkin kau miliki. Sebab, apa yang ada padamu saat ini bisa jadi merupakan salah satu dari banyak hal yang paling kau impikan.

 Jika kamu berdoa, jangan meminta kehidupan yang mudah, tetapi mintalah kepada tuhan untuk menjadikanmu pribadi yang kuat.

Setiap saat dalam hidupmu adalah ibarat gambar yang belum pernah terlihat, dan gambar yang tidak akan pernah terlihat lagi. Jadi, nikmati hidupmu dan jadikan setiap momen menjadi indah.

Jika kamu biarkan masa lalu mengusik hidupmu saat ini, kamu tak akan pernah bisa berikan yg terbaik tuk dapat masa depan yg baik

Jika anda tidak bisa menggembirakan orang lain, janganlah pula anda menambah dukanya

Cara terbaik membalas kesalahan orang lain terhadap kita ialah dengan berbuat baik kepadanya.

Berbagi kebahagiaan itu indah, itu wujud peduli kita kepada sesama.
Buktikan bahwa anda bisa!!!

Jangan lihat siapa yg berbicara, tapi dengarkan apa yg mereka bicarakan.

Jika Anda bisa membuat orang lain tertawa, maka Anda akan mendapatkan semua cinta yg Anda inginkan.

Lupakan kekecewaan, karena harapan dimasa depan masih terbentang luas dan begitu cerah.

Kamu adalah seorang yang istimewa. Kamu hanya tidak menyadarinya, atau mungkin belum menyadarinya.

Nikmatilah hidup kmu dengan melakukan hal – hal kecil, karena suatu saat nanti jika menoleh ke belakang, t’nyata hal – hal kecil itu tidak kecil.

Yang paling besar di bumi ini bukan gunung dan lautan, melainkan hawa nafsu yang jika gagal di kendalikan maka kita akan merugi, menderita dan sengsara


 
 

Sebuah Hadiah Dari Tuhan : Sahabat

Hari itu adalah hari pertama saya masuk SMA, saya melihat seorang anak dari kelas saya pulang sekolah dengan membawa semua bukunya. Namanya Kyle. Saya berpikir, “Mengapa dia membawa pulang semua bukunya di hari Jumat? Pasti dia orang yang aneh.”

Saya sendiri sudah memiliki rencana untuk akhir minggu ini, pesta dan nonton pertandangan sepakbola. Jadi saya mengangkat bahu saya dan kembali berjalan pulang.

Dalam perjalanan, saya melihat beberapa anak lain berlari melewati Kyle dan menyenggolnya. Kyle terjatuh, buku-bukunya berhamburan, kacamatanya terlempar dan saya berdiri sekitar sepuluh kaki di belakangannya. Saya melihat matanya terlihat sangat sedih. Hati saya merasa kasihan, jadi saya mendekatinya dan membantunya bangun.

Saat saya menemukan kaca matanya dan memberikan kepadanya, saya berkata, “Anak-anak itu pecundang. Mereka harusnya agak menjauh tadi.” Dia menatap saya dan berkata, “Terima kasih!” Terlihat sebuah senyum yang besar di wajahnya.

Senyum itu benar-benar tulus yang mengungkapkan rasa terima kasih. Saya membantunya memunguti bukunya yang berhamburan, dan bertanya dimana dia tinggal. Ternyata dia tinggal tidak jauh dari saya. Tapi saya belum pernah melihat dia di lingkungan saya sebelumnya, jadi saya bertanya. Kyle mengatakan dia sebelumnya mengikuti sekolah khusus.

Sepanjang perjalanan pulang, kami banyak berbincang dan saya membawakan beberapa bukunya. Ternyata dia anak yang cukup asik. Saya mengajaknya untuk bermain bola Sabtu besok dengan teman-teman saya, dan dia menjawab, “ya.”

Semakin saya mengenal Kyle, semakin saya suka dengannya. Selama empat tahun kemudian,  kami menjadi teman baik. Hingga hari kelulusan menjelang, Kyle yang lulus dengan nilai terbaik diminta untuk menyampaikan pidato perpisahan. Saya sangat bersyukur, bukan saya yang diminta untuk menyampaikan pidato itu.

Pada hari kelulusan saya bertemu dengan Kyle. Dia terlihat sangat hebat. Dia adalah salah satu dari pria-pria yang favorit semasa SMA. Sangat bersemangat dan terlihat gagah dengan kacamatanya. Lebih banyak gadis yang menyukai dia dari pada saya. Terkadang saya iri juga kepadanya.

Saya lihat dia sangat gugup menjelang pidatonya, jadi saya pukul dia dari belakang, “Hei bung, kamu pasti hebat!” Dia melihat saya dan tersenyum. “Terima kasih,” ungkapnya.

Ketika dia mulai berpidato, dia menarik nafas panjang dan mulai berkata, “Kelulusan adalah waktu untuk berterima kasih kepada mereka yang menolong kita menjalani tahun-tahun yang berat. Orang tua Anda, guru Anda, saudara Anda, mungkin pelatih.., tetapi yang terutamama adalah teman-teman.

Saya disini untuk memberi tahu Anda bahwa menjadi teman seseorang adalah hadiah terindah yang bisa Anda berikan. Saya akan menceritakan sebuah cerita kepada Anda.”

Saya hanya memandang sahabat saya itu dengan rasa tidak percaya, ketika ia menceritakan perjumpaan pertama kali kami saat ia jatuh dengan buku-bukunya itu. Saat itu dia sedang merencanakan untuk bunuh diri di akhir minggu itu.

Dia mengatakan sengaja membawa semua benda miliknya pulang, sehingga ibunya tidak perlu lagi melakukannya nanti. Dia memandang lurus pada saya dan tersenyum, “Untunglah saya diselamatkan. Sahabat saya telah melakukan sesuatu yang tidak terkatakan.”

Saya mendengar tepuk tangan dari kerumunan bagi pria gagah yang menceritakan masa terlemah dalam hidupnya itu. Saya melihat ayah dan ibunya memandang saya dengan senyuman penuh terima kasih. Hingga saat ini, saya tidak pernah tahu bahwa apa yang saya lakukan ternyata berdampak begitu besar.

Jangan pernah menganggap remeh tindakan-tindakan kecil Anda yang Anda lakukan, karena tanpa Anda sadari hal tersebut mengubah kehidupan orang lain. Tuhan menaruh dalam hidup setiap oprang untuk memberi dampak bagi kehidupan orang lain dengan berbagai cara yang unik.

Jadi setiap kali Anda melihat kesempatan untuk berbuat baik, lakukanlah dengan sebuah ketulusan dan sukacita. Anda tidak akan pernah tahu bahwa senyuman Anda atau uluran tangan Anda telah menyelamatkan jiwa seseorang.

Monday, April 29, 2013

Petani dan Anjingnya

Ada seorang petani yang punya seekor anjing yang sering duduk di pinggir jalan dan menunggu kendaraan lewat. Begitu ada mobil yang lewat, anjing itu biasanya langsung lari dan mengejarnya sambil terus menggonggong. Suatu hari, seorang tetangga itu bertanya pada petani tersebut “Apakah menurutmu anjing itu suatu saat akan berhasil menangkap sebuah mobil yang dikejarnya?”

Petani itu menjawab, “Bukan itu yang saya kuatirkan. Apa yang mengganggu pikiran saya adalah apa yang akan dia lakukan jika ia bisa mendapatkan satu mobil saja?”


Banyak orang terkadang bertingkah seperti anjing itu dalam hidupnya, mengejar sesuatu tanpa tujuan yang jelas. Jika Anda mengejar sesuatu atau target Anda harus memiliki tujuan yang jelas. Hal ini Anda bisa lakukan dengan cara SMART (bijak/pintar), caranya adalah:


Specific - spesifik, terinci. Buatlah sebuah tujuan yang jelas dan terperinci. Jangan hanya gambaran umum, buatlah serinci mungkin.


Measurable - dapat di ukur. Jika Anda tidak dapat mengukurnya, Anda tidak akan pernah dapat mencapainya. Ukuran adalah sebuah cara untuk Anda memonitor apakah Anda telah melakukan sebuah kemajuan atau tidak.


Achievable – dapat diraih. Ini artinya bahwa target Anda adalah sesuatu yang bisa di raih dan cukup menantang untuk meraihnya.


Realistic – realistis. Jika Anda mencoba menjadi seorang milyader dalam waktu hanya satu bulan, hal seperti ini bukanlah sesuatu yang realistis.


Time bound – ada tenggat waktu. Anda harus membuat tenggat waktu, dari tanggal memulainya hingga tanggal pencapaiannya. Tanpa tenggat waktu, Anda tidak akan memiliki motivasi dan disiplin dalam mencapainya.

Perlombaan kehidupan

Pasti Anda pernah mendengar fable tentang perlombaan lari antara kura-kura dan kelinci, jadi saya persingkat dengan mengingatkan Anda bahwa perlombaan itu dimenangkan oleh si kura-kura. Dari perlombaan itu, kura-kura mengajar sang kelinci bahwa ketekunan itu lebih penting dari pada kecepatan. Dan kehidupan memiliki prinsip yang sama, hidup ini lebih mirip lomba lari marathon dari pada sprint.
Orang yang berlari sprint, memenangkan lari cepat seratus meter – namun ia bisa saja kalah dalam lomba marathon, karena dalam perlombaan marathon dibutuhkan ketekunan. Seorang pebisnis bernama John Capozzi menulis dalam bukunya yang berisi kumpulan pepatah prinsip-prinsip yang serupa:
Perlombaan itu tidak selalu dimenangkan oleh pelari tercepat, namun, terkadang oleh mereka yang terus berlari.
Menghindari jalan pintas. Jalan pintas itu menghabiskan terlalu banyak waktu bila ditinjau dari ukuran jangka panjang.
Jadi, mari hari ini kita bertobat dari dosa sang kelinci: kesombongan dan ketergesa-gesaan. Dosa yang paling sulit untuk kita sadari adalah kesombongan. Kita tidak pernah sadar bahwa ada jebakan dosa kesombongan dalam ketergesa-gesaan. Kita terperangkap dalam kekurangan waktu, dan seringkali bangga akan hal itu. Pada hal kesibukan kita tidak menunjukkan produktivitas kita.
Ingatlah bahwa Tuhan bukanlah pribadi yang tergesa-gesa. Dia mengendalikan waktu dengan baik. Bagaimana kita bisa tahu hal itu? Kita bisa lihat dari kehidupan Yesus. Dia tidak tergesa-gesa menunjukkan jati dirinya yang sesungguhnya sewaktu ia masih berumur 12 tahun (Lukas 2:42-51). Bisa saja Ia melakukannya, namun tidak, Yesus menunggu hingga Ia berumur 30 tahun. Sekalipun Ia hanya memiliki waktu tiga setengah tahun untuk melayani umat Tuhan dan memuridkan ke dua belas muridnya, namun waktu yang tiga setengah tahun itu menjadi waktu yang paling efektif. Dalam tiga setengah tahun itu Yesus menggenapi kehendak Bapa.

Jalani kehidupan dengan ketekunan dan kepekaan akan waktu Tuhan, jangan dalam ketergesaan.

Wawancara Dengan Tuhan

Aku bermimpi melakukan wawancara dengan Tuhan.
“Masuklah,” kata Tuhan. “Jadi, Anda ingin melakukan wawancara dengan saya?”
“Jika Anda punya waktu,” jawabku.
Tuhan tersenyum dan berkata, “Waktu saya adalah kekal. Ini cukup untuk melakukan apapun. Pertanyaan apa yang ada di pikiran Anda yang ingin ditanyakan pada saya?”
Aku bertanya, “Hal apa yang paling mengejutkan Anda yang Anda temukan pada manusia?”
Tuhan berpikir sebentar dan kemudian menjawab, “Mereka bosan menjadi anak-anak dan buru-buru ingin bertumbuh dewasa, dan kemudian ingin kembali menjadi anak-anak.
Bahwa mereka mengorbankan kesehatan mereka demi menghasilkan uang dan kemudian menggunakan uang itu untuk memulihkan kesehatan mereka kembali.
Mereka begitu cemas tentang masa depan, tapi mereka lupa untuk hidup di saat ini, akhirnya mereka tidak hidup di masa kini maupun di masa depan.
Mereka hidup seolah-olah mereka tidak akan pernah mati, dan akhirnya mereka mati seperti mereka tidak pernah hidup.”
Tuhan menaruh tangan saya di atas tangannya dan kami terdiam sebentar. Kemudian aku bertanya,
“Sebagai orangtua, pelajaran hidup seperti apa yang Anda ingin agar anak-anak Anda pelajari?”
Tuhan menjawabnya sambil tersenyum, “Belajar bahwa mereka tidak bisa membuat orang lain mencintai mereka. Yang mereka bisa lakukan hanyalah membiarkan diri mereka dicintai.
Untuk belajar bahwa tidak baik membandingkan diri mereka dengan orang lain. Setiap orang akan di hakimi atas tindakannya masing-masing, bukan berdasarkan perbandingan antara satu sama lin.
Belajar bahwa orang kaya bukanlah mereka yang memiliki banyak hal, namun mereka yang memiliki kebutuhan paling sedikit.
Mereka juga harus belajar hanya membutuhkan beberapa detik untuk melukai orang yang kita cintai, dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyembuhkan mereka.
Belajar untuk memaafkan dengan menerapkan pengampunan. Belajar bahwa ada orang yang sangat mencintai dirinya, namun orang itu tidak tahu bagaimana caranya untuk mengungkapkan atau menunjukkan perasaannya itu.
Belajar bahwa uang bisa membeli segalanya kecuali kebahagiaan.
Belajar bahwa dua orang dapat melihat satu hal yang sama namun memiliki dua pendapat yang jauh berbeda.
Belajar bahwa teman sejati adalah seseorang yang tahu segala sesuatu tentang hidupnya… namun tetap mengasihinya.”
Saya duduk disana sambil menikmati kunjungan saya di rumah Tuhan itu.
Lalu saya mengakhirnya dengan berterima kasih atas waktu-Nya dan atas semua yang telah Ia lakukan untuk saya dan keluarga saya.
Dia menjawab, “Tentu. Kapan saja, 24 jam saya ada disini. Yang Anda harus lakukan hanyalah bertanya pada saya dan saya akan menjawabnya.”

Pelajaran Dari Seorang Petani Jagung


James Bender, dalam bukunya “How to Talk Well” (New York;McGray-Hill Book Company,Inc., 1994) menghubungkan salah satu tulisannya dengan sebuah cerita tentang seorang petani yang menanam jagung unggulan dan selalu memenangkan penghargaan. Suatu hari, seorang wartawan dari koran lokal mewawancarainya dan belajar sesuatu yang penting rahasia sukses petani tersebut.

Wartawan itu menemukan bahwa sang petani membagikan benih jagungnya kepada tetangganya. “Bagaimana Anda bisa berbagi benih jagung dengan tetangga Anda lalu bersaing dengannya dalam kompetisi yang sama tiap tahunnya?” tanya wartawan itu.
“Kenapa?” ucap sang petani, “Apakah Anda tidak tahu? Angin menerbangkan serbuk sari dari jagung yang akan berbuah dan membawanya dari satu ladang ke ladang yang lain. Jika tetangga saya menanam jagung yang jelek, maka ketika terjadi serbuk silang akan menurunkan kualitas jagung saya. Jika saya ingin menghasilkan jagung kualitas unggul, saya harus membantu tetangga saya untuk menanam jagung yang bagus pula.”

Petani ini sangat menyadari hukum keterhubungan dalam kehidupan. Dia tidak dapat meningkatkan kualitas jagungnya jika dia tidak membantu tetangganya untuk melakukan hal yang sama. Demikian juga dalam berbagai aspek kehidupan yang lain. Mereka yang ingin menikmati kebaikan, harus memulai dengan menabur kebaikan kepada orang-orang di sekitarnya. Jika Anda ingin hidup makmur, Anda harus memulai dengan menolong orang-orang di sekitar Anda untuk meningkatkan taraf hidupnya. Demikian juga jika Anda ingin bahagia, Anda harus menabur kebahagiaan dalam hidup orang lain. Jika Anda tidak mau menolong orang, Anda juga akan merasakan akibatnya.

Harga Sebuah Mujizat

Sally baru berumur 8 tahun ketika dia mendengar ayah dan ibunya berbicara tentang kakaknya Georgi. Kakaknya sakit keras dan mereka telah melakukan semuanya untuk menyelamatkan nyawanya. Hanya pengobatan yang  sangat mahal yang dapat menolongnya sekarang tapi itu tidak mungkin karena kesulitan keuangan keluarga tersebut.
 Sally mendengar ayahnya berkata, hanya mukjizat yang dapat menyelamatkan kakaknya. Sally masuk ke kamarnya dan mengambil celengan yang disimpannya, menjatuhkannya ke lantai dan menghitungnya dengan hati-hati. 3 kali dihitungnya hingga benar-benar yakin tidak salah menghitung jumlah uangnya. Dia memasukkan uang koin tersebut ke dalam saku sweaternya dan menyelinap meninggalkan rumahnya untuk menuju ke sebuah toko obat. Dengan penuh kesabaran, ditunggunya si apoteker yang tengah sibuk berbicara dengan seorang pria. Si apoteker tidak melihatnya karena dia begitu kecil. Hal itu membuat Sally bosan dan dia menghentak-hentakan kakinya ke lantai untuk membuat kebisingan. Si apoteker melongokkan kepalanya tapi juga tidak melihat si Sally kecil. 
 Akhirnya dia keluar dan menemui Sally.  “Apa yang kau mau?”  tanya si apoteker dengan keras. “Saya sedang berbicara dengan saudara saya.” 
 “Baik, saya ingin berbicara tentang kakak saya,” Sally menjawab dengan nada yang sama “Dia sakit, dan saya ingin membeli mukjizat.” 
 “Maaf, apa yang kamu katakan ?” kata si apoteker. 
 “Ayah saya berkata hanya mukjizat yang dapat menyelamatkan kakak saya, nah sekarang  berapa harga mukjizat itu ?” 
 “Kami tidak menjual mukjizat di sini, anak kecil. Saya tidak dapat menolongmu.”
 “Dengan, saya mempunyai uang untuk membelinya jadi katakan saja berapa harganya,”  kata Sally dengan lantang.
Seorang pria berpakaian rapi duduk jongkok di hadapan Sally dan bertanya,”Mukjizat jenis apa yang dibutuhkan saudaramu?”
 “Saya tidak tahu,” jawab Sally. Airmata mulai mengalir di pipinya “Yang saya tahu, dia benar-benar sakit dan ayah saya berkata hanya mujizat yang dapat menyembuhkannya.”
 “Berapa banyak yang kau punya?” tanya pria itu. “Satu dollar 11 sen,”  jawabnya dengan bangga. “Dan inilah semua uang yang  saya punyai didunia ini.”
 “Wah, suatu di luar logika,” senyum pria tadi 1 dollar 11 sen. Harga yang tepat untuk sebuah mukjizat.
Dia mengambil uang itu, lalu dengan tangan yang satunya membimbing tangan anak kecil itu sambil berkata,”Bawa aku ketempat kamu tinggal, aku ingin bertemu dengan kakak dan orangtuamu”.
Pria berpakaian rapi itu adalah Dr. Carlton Armstrong, seorang spesialis bedah. Dia terharu pada perjuangan Sally kecil yang masih 8 tahun dalam mencari mujizat dengan uang celengannya. Dr. Carlton Armstrong merasa tergerak oleh belas kasihan untuk membantu operasi bedah dalam penyembuhan kakak Sally. Operasi berjalan sempurna dan Georgi, kakak Sally diselamatkan. Sebuah operasi yang luar biasa dan ajaib karena keluarga Sally tidak perlu mengeluarkan uang, selain tabungan Sally yang diberikan kepada dokter itu.
Sebuah kebijaksanaan bisa kita pelajari dari kisah nyata ini. Ketulusan dan kasih akan mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu mencari jalan keluar. Si Sally tidak punya uang yang cukup, tidak punya tenaga yang cukup, tetapi kasih yang tulus, itulah yang mendorong dia untuk menyusuri jalan dari rumahnya menuju ke toko obat dan berusaha keras mencari pertolongan. Ketulusan dan kasih memberi dorongan yang kuat untuk seseorang mencari jalan keluar. Bila kita ada masalah, biarlah kasih dan ketulusan yang memerintah hati kita, sehingga dengan bijaksana kita akan mencari jalan keluar.

Pengakuan Seorang Gadis Cacat

Seorang penulis bernama Marry Ann Bird mengisahkan tentang masa kecilnya yang begitu menyentuh dalam bukunya Whisper Test. Dia menulis, “Saya bertumbuh dengan keadaan sadar betul bahwa saya berbeda, dan saya membencinya. Saya lahir dengan keadaan langit-langit mulut tidak sempurna, dan ketika saya mulai sekolah, teman sekolah saya membuat saya sadar betul bagaimana mereka melihat saya: seorang gadis kecil dengan cacat di bibirnya, hidung yang bengkok, gigi miring, dan cara bicara yang aneh.”

“Ketika teman sekelas saya bertanya, ‘Apa yang terjadi dengan bibirmu?’ Saya akan mengatakan kepada mereka bahwa saya jatuh dan sepotong kaca membuat bibir saya seperti ini. Bagaimanapun lebih mudah diterima cerita mengalami kecelakaan daripada saya dilahirkan dalam keadaan yang berbeda. Saya begitu yakin bahwa tidak ada yang bisa mengasihi saya selain keluarga saya.” “Hingga suatu saat, ada seorang guru di kelas dua yang begitu kami kagumi – namanya Ibu Leonard. Dia pendek, bulat namun periang – seorang wanita yang mempesona.”

Secara rutin, sekolah kami melakukan tes pendengaran. Bu Leonard memberikan tes pendengaran kepada setiap anak di kelas, dan akhirnya tiba giliran saya. Saya tahu bagaimana tes pendengaran dilakukan karena sudah pernah mengalaminya di kelas satu. Kami berdiri menghadap pintu dan menutup satu telinga, dan guru duduk dimejanya dan akan membisikkan sesuatu dimana kami harus mengulanginya kembali – seperti “langit berwarna biru” atau “Apakah Anda memiliki sepatu baru?” Saya menunggu kalimat apa yang Tuhan taruh di mulutnya. Kemudian dia mengucapkan tujuh kata yang mengubah hidup saya, “Saya harap kamu adalah gadis kecil saya.” (Dikutip dari Larson, hal 90).

Seperti Mary Ann Bird, setiap orang dilahirkan dengan sebuah kekurangan. Namun mari kita belajar seperti Ibu Leonard, tidak melihat kekurangan dari hidup orang lain namun menyatakan kasih yang tulus sebab setiap orang berharga dan mulia di hadapan Tuhan.

Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau, maka Aku memberikan manusia sebagai gantimu, dan bangsa-bangsa sebagai ganti nyawamu.
Yesaya 43:4

Selamat Karena Menolong Orang Lain

Ada cerita mengenai seorang pejalan kaki yang mengadakan perjalanan dimalam bersalju yang tebal dan dingin dibawah nol derajat di New England. Ia sudah begitu lelah dan tahu kakinya sudah beku. Dan ia merasa tidak dapat bergerak lebih jauh lagi. Hatinya mulai tergoda untuk menyerah dan ingin berbaring di atas salju. Tapi ia sadar itu berarti kematian. Sementara ia terus berjuang dan berjalan di atas salju, kakinya terantuk pada sebuah gundukan. Dan ternyata gundukan itu adalah tubuh seseorang. Ia membalikkan tubuh orang itu dan melihat bahwa orang itu masih hidup. Hatinya bergumul antara ditinggal atau ditolong. Ia merasa tenaganya sendiri saja seperti tinggal menunggu ajal. Ia merasa tidak mungkin menolongnya. Karena ia sendiri sedang berjuang untuk hidup.

         Tapi tiba-tiba rasa belas kasihan mulai berkobar dalam dirinya. Dan ia merasakan ada sesuatu yang bergejolak yang memberi semangat baru untuk hidup bagi dirinya dan bagi orang yang ditolongnya. Ia mulai berbicara padanya dan mencoba untuk menggosok kaki tangan orang itu. Ia angkat orang itu dengan sisa tenaganya. Mulai berjalan berjuang menempuh jalan bersalju sambil membopong orang itu. Tidak lama kemudian ia menjadi berkeringat ia merasakan aliran darahnya mulai mengalir kembali pada anggota tubuhnya. Di kejauhan ia melihat cahaya dan ia maju terus mendekati cahaya itu. Dan akhirnya jatuh rebah tepat di depan pintu rumah orang itu.

         Rumah itu adalah milik seorang petani bersama istrinya dan mereka menyeret dua tubuh laki-laki setengah kaku itu. Membawanya ke tempat perapian dan menghangatkannya. Memberikan makanan dan minuman hangat dan tempat tidur. Orang yang ditolong mengucapkan terima kasih kepada penolongnya karena telah menyelamatkan jiwanya. Pejalan kaki dari New England ini berkata,”Saya pun senang bertemu dengan anda. Oleh karena telah menolong hidup anda sebenarnya saya juga menyelamatkan hidup saya sendiri. Karena tadinya saya juga sebenarnya mau menyerah.”

       Setiap usaha dan tugas yang dibuat untuk orang lain sebenarnya justru juga untuk mendatangkan keuntungan bagi diri kita sendiri. Kalau kita melukai orang lain maka sebenarnya kita juga melukai diri kita sendiri. Setiap kita memberkati orang lain, maka kita juga memberkati diri kita sendiri. Setiap kata simpati yang diucapkan pada orang yang berduka, sering juga melepaskan simpati pada diri kita sendiri.

      Sebuah artikel mengatakan bahwa kesukaan berbuat baik pada orang lain memberi cahaya pada perasaan-perasaan yang memancar melalui syaraf, mempercepat sirkulasi darah dan mendukung mental bahkan kesehatan tubuh. Maka dari itu marilah kita belajar berhikmat dan bijaksana dengan melihat kebutuhan-kebutuhan orang lain. Karena kita akan dibuat antusias dan bergairah dalam hidup.

Thursday, December 30, 2010

I cried for my brother six times

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning,> dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
"Siapa yang mencuri uang itu?"
Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan,
"Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"
Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.
Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata,
"Ayah, aku yang melakukannya!"
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi,
"Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ... Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun.
Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata,
"Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak
memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku.
Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut
masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di
SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi.
Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap
rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus.
Saya mendengarnya memberengut,
"Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu
baik...hasil yang begitu baik..."
Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan
menghela nafas,
"Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa
membiayai keduanya sekaligus?"
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan
ayah dan berkata,
"Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi,
telah cukup membaca banyak buku."
Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya.
"Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!"
Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di
dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan
tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku
yang membengkak, dan berkata,
"Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini."
Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi
meneruskan ke universitas.
Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh> dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku:
"Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat
tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran
sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17
tahun. Aku 20.
Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun,
dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan,
"Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku?
Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh,
seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman
sekamarku kamu adalah adikku?"
Dia menjawab, tersenyum,
"Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan
mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu?
Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"
Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi
mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku
semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku,
"Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu
adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku
bagaimana pun penampilanmu..."
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut
berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku,
dan terus menjelaskan,
"Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi
saya pikir kamu juga harus memiliki satu."
Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi.
Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan
menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20.
Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca
jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih
di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari
seperti gadis kecil di depan ibuku.
"Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak
waktu untuk membersihkan rumah kita!"
Tetapi katanya, sambil tersenyum,
"Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk
membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat
luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang
kaca jendela baru itu.."
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat
mukanya yang kurus, seratus jarum terasa
menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada
lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.
"Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja
di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada
kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak
menghentikanku bekerja dan..."
Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan
tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir
deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23.
Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota.
Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang
tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi
mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan,
sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu
harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan,
"Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu
dan ayah di sini."
Suamiku menjadi direktur pabriknya.
Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan
sebagai manajer pada departemen pemeliharaan.
Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.
Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.
Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk
memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit.
Suamiku dan aku pergi menjenguknya.
Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu,
"Mengapa kamu menolak menjadi manajer?
Manajer tidak akan pernah harus melakukan
sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu
sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu
tidak mau mendengar kami sebelumnya?"
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia
membela keputusannya.
"Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan
saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi
manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan
dikirimkan?"
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian
keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah:
"Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"
"Mengapa membicarakan masa lalu?"
Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia
berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi
seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara
pernikahannya, pembawa acara perayaan itu
bertanya kepadanya,> "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?"
Tanpa bahkan berpikir ia menjawab,
"Kakakku."
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah
kisah yang bahkan tidak dapat kuingat.
"Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada
dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya
berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan
pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu
dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu
dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan
berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah,
tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang
begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang
sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama
saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan
baik kepadanya."
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu
memalingkan perhatiannya kepadaku.
Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku,
"Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima
kasih adalah adikku."
Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini,
di depan kerumunan perayaan ini, air mata
bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.